fin's journal

Experience … Think … Write … Share …


Sebenarnya Siapa yang Tidak Konsisten?

Saya hanya ingin sedikit berkomentar perihal penghapusan UN sebagai syarat kelulusan yang sedang dan akan selalu marak diperbincangkan. Tidak ada salahnya jika kita sedikit melirik ke belakang, seperti apa yang sedang saya lakukan sekarang, kembali membaca dan mempelajari dengan seksama dokumen kurikulum 2013.

Salah satu landasan empiris dikembangkannya kurikulum 2013, atau yang kita kenal “Kurikulum Berbasis Kompetensi” disebutkan;

“Dewasa ini, kecenderungan menyelesaikan persoalan dengan kekerasan dan kasus pemaksaan kehendak sering muncul di Indonesia. Kecenderungan ini juga menimpa generasi muda, misalnya pada kasus-kasus perkelahian massal. Walaupun belum ada kajian ilmiah bahwa kekerasan tersebut bersumber dari kurikulum, namun beberapa ahli pendidikan dan tokoh masyarakat menyatakan bahwa salah satu akar masalahnya adalah implementasi kurikulum yang terlalu menekankan aspek kognitif dan keterkungkungan peserta didik di ruang belajarnya dengan kegiatan yang kurang menantang peserta didik. Oleh karena itu, kurikulum perlu direorientasi dan direorganisasi terhadap beban belajar dan kegiatan pembelajaran yang dapat menjawab kebutuhan ini.” (hal 8)

Disebutkan bahwa kurikulum kita terlalu berpatok pada aspek kognitif, namun mengapa ranking prestasi pendidikan anak Indonesia masih setia pada posisi 10 besar terbawah dari 65 negara?

“Hasil studi TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) menunjukkan siswa Indonesia berada pada ranking amat rendah dalam kemampuan (1) memahami informasi yang komplek, (2) teori, analisis dan pemecahan masalah, (3) pemakaian alat, prosedur dan pemecahan masalah dan (4) melakukan investigasi.” (hal 9)

Di dalam kurikulum sendiri sudah jelas dikatakan bahwa pengembangan harus bersifat menyeluruh, kompetensi belajar yang paling dasar harus memenuhi aspek sikap, pengetahuan, kemampuan analisa, dan psikomotor dengan memberikan kesempatan pembelajar untuk menguasai apa yang menjadi minat dan kemampuan awal mereka.

“Kurikulum dikembangkan dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan perbedaan dalam kemampuan dan minat. Atas dasar prinsip perbedaan kemampuan individual peserta didik,  kurikulum memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memiliki tingkat penguasaan di atas standar yang telah ditentukan (dalam sikap, keterampilan dan pengetahuan). Oleh karena itu beragam program dan pengalaman belajar disediakan sesuai dengan minat dan kemampuan awal peserta didik.” (hal 11)

Dari kalimat tersurat tersebut di atas, tentu ada poin yang tersirat, bahwa sebenarnya proses pembelajaran seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan diri pembelajar dan lingkungan dia berada dengan mengacu pada kurikulum standar yang sudah disusun pemerintah.

Ketika hal tersebut sudah bisa diaplikasikan dalam proses belajar-mengajar di kelas, dengan disusunnya berbagai program, materi ajar yang lebih aplikatif, dan lain-lain, lantas akan muncul masalah selanjutnya, yaitu berkenaan dengan evaluasi.

Evaluasi tentu sangat diperlukan untuk menilai apakah proses pembelajaran yang sudah dilakukan memenuhi standar minimal kompetensi yang diinginkan, dan memeriksa letak kelemahan atau kesalahan dari program yang sudah dilakukan dari sebuah satuan pendidikan. Mengapa kemudian hal ini menjadi masalah? Ketika penyelenggaraan evaluasi ini menjadi kontradiktif dengan tujuan mulia kurikulum pendidikan.

Bertolak dari kurikulum yang diciptakan harus relevan dengan kebutuhan dari lingkungan sekitar satuan pendidikan tersebut, maka dari mulai tujuan, proses hingga evaluasi akan menjadi berbeda antar satuan pendidikan di penjuru Indonesia. Lantas mengapa, dengan perbedaan itu, evaluasi harus diseragamkan, dan bahkan menjadi syarat kelulusan. Ya! Saya berbicara tentang Ujian Nasional!

Sebut saja sekolah yang berada di daerah pegunungan, pertanian, dan pesisir pantai, tentu akan memiliki beberapa perbedaan hasil dari pengembangan kurikulum nasional. Dengan materi yang sama, bisa jadi mereka akan menyusun program, tema, alat peraga yang berbeda, dan sudah pasti evaluasi akan disesuaikan. Bisa jadi soal UN akan sama sekali berbeda dengan pengalaman yang peserta didik dapatkan selama 3 tahun proses belajarnya. Jika hanya sekedar soal hafalan, text book, dan itu akan menjadi penentu kelulusan mereka, 1 bulan cukup untuk mereka menghafal soal-soal yang akan muncul di UN, tanpa harus menghabiskan biaya, waktu selama 3 tahun!

Tapi, mari kita kembali pada tujuan mulia kurikulum pendidikan kita, apakah hal seperti itu yang diharapkan? Tentu saja bukan! Mereka yang menyusun itu mengetahui secara pasti mengenai berbagai indikasi negatif dari UN, seperti disebutkan;

“Berbagai kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang, manipulasi, termasuk masih adanya kecurangan di dalam Ujian Nasional/UN menunjukkan mendesaknya upaya menumbuhkan budaya jujur dan antikorupsi melalui kegiatan pembelajaran di dalam satuan pendidikan. Maka kurikulum harus mampu memandu upaya karakterisasi nilai-nilai kejujuran pada peserta didik.” (hal 9)

“Evaluasi pelaksanaan kurikulum diselenggarakan dengan tujuan untuk mengidentifikasi masalah pelaksanaan kurikulum dan membantu kepala sekolah dan guru menyelesaikan masalah tersebut. Evaluasi dilakukan pada setiap satuan pendidikan dan dilaksanakan pada satuan pendidikan di wilayah kota/kabupaten secara rutin dan bergiliran.

  1. Evaluasi dilakukan di akhir tahun ke II dan ke V SD, tahun ke VIII SMP dan tahun ke XI SMA/SMK. Hasil dari evaluasi digunakan untuk memperbaiki kelemahan hasil belajar peserta didik di kelas/tahun berikutnya.
  2. Evaluasi akhir tahun ke VI SD, tahun ke IX SMP, tahun ke XII SMA/SMK dilakukan untuk menguji efektivitas kurikulum dalam mencapai Standar Kemampuan Lulusan (SKL).” (hal 19)

Selain perlu pengembangan kurikulum, diperlukan juga pengembangan proses evaluasinya. Jelas sekali dikatakan di atas, Ujian akhir adalah untuk menguji efektivitas kurikulum dan hasil proses belajar-mengajar, bukan sebagai syarat kelulusan peserta didik.

Lalu, apakah UN masih diperlukan sebagai salah satu metode evaluasi peserta didik? Mari kita renungkan bersama! Tolak UN sebagai standar kelulusan siswa demi pendidikan Indonesia yang lebih baik, dengan menandatangani petisi ini -> http://www.change.org/id/petisi/m-nuh-hapuskan-un-sebagai-syarat-kelulusan

 

Salam hangat,

-finfin-



Satu tanggapan untuk “Sebenarnya Siapa yang Tidak Konsisten?”

What do you think?